Friday, December 24, 2004



Split Screen 

Kami sedang enak-enaknya menikmati hari libur, rebahan santai berdua di atas kasur empuk ngobrol tentang masa depan dan pernikahan, ketika telepon itu masuk. “Gua mo cerai sama dia, sebentar lagi kita mau sidang…,” ujar suara perempuan di ujung telepon. Sesunggukan nangis. Hah?! Loe berdua bukannya baru kawin beberapa bulan? Pikir saya dalam hati.

Kaget.
Sedih.
Ngga abis pikir.

Buyarlah kenikmatan hari libur, rebahan santai berdua di atas kasur empuk ngobrol tentang masa depan dan pernikahan, ketika telepon itu masuk. Sejak kapan mereka berdua meniti karir sebagai selebritis? Kawin & cerai secepat kilat.


Cerita panjang lebar ngga lama mulai tumpah ruah keluar dari mulut si perempuan di ujung telepon. Masih sesunggukan nangis. Ratusan kata, puluhan kalimat dan beberapa alasan keluar dari panjangnya daftar hitam kisah percintaan mereka. Masalah hati yang suka nakal bermain dengan hati yang lain. Masalah perekonomian makro nasional rumah tangga. Masalah perkelaminan yang bermasalah di dalam negeri. Masalah perkelaminan yang menyeberang ke negeri lain. Masalah, masalah dan masalah. Muka saya pucat pasi ketakutan mendengar itu semua.

Berpihak?
Siapa saya?
Saya kan bukan anggota pernikahan mereka.

“Kalau ketemu dia, tolong deh dinasehatin…,” masih ujar suara perempuan di ujung telpon. Masih sesunggukan nangis. Siapa saya, berhak ikut mengatur hati dan perasaan seseorang? Siapa saya, berhak ikut mengatur tata cara penggunaan kelamin seseorang?

Bukannya saya tidak rela meminjamkan kuping, menjadi pendengar setia kisah curahan hati yang diselingi isak tangis. Bukan itu. Silakan bawa kuping saya untuk dihujani kata-kata sepuasnya. Silakan bawa kuping saya untuk dibasuh dengan air mata. Nonton adegan perpisahan sang jagoan dengan si juwita di akhir film aja sedih. Dengar berita perpisahan si penyanyi cantik dengan si foto model ganteng menghias tabung tv setiap sore aja males. Bagaimana bisa melihat kehidupan pernikahan dua orang teman dekat berakhir? Bagaimana bisa menikmati tayangan drama favorit harus berakhir dalam layar terpisah?

Anti klimaks?
Bercinta tanpa orgasme?
Bercinta tanpa rasa?

Masih jelas ingatan di kepala, ketika mata kanan saya mengintip di balik tirai view finder kamera, sering jadi mat kodak motret mesranya bertahun-tahun mereka pacaran. Masih jelas ingatan di kepala, ketika telunjuk kanan saya memijat lembut permukaan tombol shutter kamera, mengabadikan momen bersejarah mengucap janji pernikahan di depan Tuhan. Masa sekarang harus kembali menjadi saksi dan mendokumentasikan dan merekam mereka? Tapi kali ini, buyarnya rasa cinta dan berantakannya rumah tangga. Saya bukan kotak recorder
hitam mungil, yang saya suka bawa-bawa waktu masih jadi kuli tinta yang berkeliaran di jalan.

Kenapa sih?
Masa segampang itu?
Memang ngga ada jalan keluar lain?

Saya yakin banyak alasan untuk menjawab pertanyaan bodoh “kenapa?”. Saya yakin itu bukan sesuatu yang gampang untuk mereka. Saya yakin mereka berdua telah menghabiskan bermalam-malam terjangkit insomnia memikirkan hal ini. Saya yakin ember di rumah mereka ngga cukup untuk menampung air mata. Saya yakin menemukan jalan keluar tidak semudah melewati lebarnya pintu gerbang rumah mereka.

Mungkin ini memang menjadi pemecahan terbaik untuk segala permasalahan yang ada di mereka. Mungkin ini memang menjadi jawaban jitu untuk semua permainan teka-teki mereka. Mungkin ini memang lebih baik, daripada mereka harus menghabiskan waktu 30 tahun ke depan terjebak hidup bersama dalam penjara rumah tangga yang menyiksa. Drama akan tetap dimainkan dalam layar terpisah.

Sedih. Harus melihat dua anak manusia yang dulu menuai cinta, kemudian memasaknya menjadi dendam dan luka. Takut. Suatu hari nanti mungkin saya yang terhimpit sempit, terjebak dalam posisi yang sama. Sangat mungkin kan? Saya kan juga cuma seorang anak manusia, yang terkadang salah menempatkan mata dan hati. Saya kan juga cuma seorang anak manusia, yang terkadang punya desakan liar ingin bercinta dengan yang berbeda. Jangan lupa, dia juga cuma seorang anak manusia.

Mungkinkah?
Seperti ini?
Aku dan dia?

Tiba-tiba handphone berdering. 01.45 pagi. Layar berbentuk bujur sangkar berkedap-kedip, memperlihatkan foto sang penelpon berwajah manis berkacamata. Senang rasanya bisa dengar suara dia, kala hati lagi tersesat dalam pertanyaan-pertanyaan ambigu. Lumayan mengusir resah dan ketakutan akan perpisahan.

“Jangan pernah lupa ya…” kata-kata saya terakhir sebelum menutup telepon. Rasanya dia sudah sangat akrab dengan kalimat ini, lengkap dengan jawaban,“Iya, iya, sayang kamu juga…”

Aduh, mudah-mudahan kita ngga akan pernah lupa. Kita kan bukan pemain drama yang suka bermain sandiwara dalam layar terpisah...

*Israel Kamakawiwo’ is singing Over the Rainbow on the stereo*

No comments: