Thursday, January 13, 2005


What if...

What if I did that rather than did this?
What if I did what I thought was right?
What if I was right and you were wrong?
What if I was wrong for so long?

What if I don’t do anything?
What if I come up with something?
What if I listen to my heart?
What if I play the other part?

What if the sun is not coming up today?
What if the moon doesn’t want to be here tonight?
What if I walk on the wrong way?
What if I stand up and fight?

What if I talk the talk?
What if I walk the walk?
What if I turn around?
What if I go down?

What if…
What if…
So many what ifs…
What if we cut all the what ifs?

*indecision needs resolution*

Monday, January 10, 2005



"He never knew that he was the CAUSE."

Seekin' the Cause - Miguel Pinero
source: http://www.randomscribbles.com/misc/pinero/seekinthecause.html

more poems by Pinero:
http://oldpoetry.com/authors/Miguel%20Pinero

Tuesday, January 04, 2005



Tubuh: 
Sebuah Representasi

Body*:
1 a : the main part of a plant or animal body especially as distinguished from limbs and head : TRUNK b : the main, central, or principal part: as (1) : the nave of a church (2) : the bed or box of a vehicle on or in which the load is placed (3) : the enclosed or partly enclosed part of an automobile2 a : the organized physical substance of an animal or plant either living or dead: as (1) : the material part or nature of a human being (2) : the dead organism : CORPSE b : a human being : PERSON
*
Merriam Webster

Tapi rasanya penjelasan di atas tak cukup menjabarkan perihal tubuh manusia. Secara harfiah, tubuh memang hanya bersifat fisik seperti di atas. Di luar itu, tubuh mengandung banyak makna di balik sekedar tampilan kasat mata.

Dari jaman Yunani kuno saja, sudah muncul silang pendapat. Mana yang lebih tinggi, kebahagiaan tubuh atau kebahagiaan mental? Pada saat yang sama, muncul pula aliran yang mengatakan, bahwa tubuh adalah kuburan bagi jiwa. Yang lebih netral mungkin pemikiran bangsa Romawi, yang menempatkan tubuh dan jiwa sebagai bagian dari kosmik. Mungkin pada waktu itu, muncul pertanyaan-pertanyaan kontemplatif mengenai makna dan peran tubuh.

Sedemikian rumitkah makna dan peran tubuh?

Mungkin saja. Buktinya, pembahasan mengenai tubuh bertebaran di beragam disiplin ilmu. Mulai dari kedokteran, antropologi, sosiologi, hingga psikologi. Manusia memang perlu memahami dirinya sendiri. Tapi jika menelaah semua pembahasan ilmiah ini, rasanya peran dan makna tubuh menjadi semakin jauh (jika tidak bisa disebut absurd).

Awalnya, tubuh hanya menjadi perwujudan bentuk manusia. Kini berkembang, hingga menjadi alat untuk menelaah masyarakat. Seolah semua pola yang berkembang di masyarakat, ter-representasikan dengan baik dalam wujud tubuh. Tubuh fisik menjadi tubuh sosial. Bayangkan, setiap pagi kita melihat tubuh kita terpantul di cermin. Tetapi ternyata kita sedang mengamati pantulan fenomena sosial.

Belum lagi, pendapat filsuf kenamaan dan kritisi sosial dari Perancis,
Michel Foucault, yang merelasikan tubuh dengan kekuasaan. Tubuh bersifat mekanis dan ideologis. Bahkan, seksualitas manusia (termasuk pola hubungan seksual) melalui prosedur-prosedur tertentu dari “kekuasaan yang berlaku”. Menarik juga membaca lebih jauh literatur monumental beliau, The History of A Sexuality (1976), atau The Use of Pleasure (1985).

Politisasi tubuh?

Semakin aneh. Ketika tubuh yang satu diposisikan lebih tinggi dari tubuh yang lain. Susunan substansi fisik manusia yang sama, tapi memiliki makna dan hak hidup yang berbeda. Kenapa sih harus terjadi pembantaian, apakah karena tubuh sebuah bangsa bukan turunan tubuh bangsa Arya? Kenapa sih harus ada pembedaan hak dan kewajiban, karena warna yang tertera di kulit berbeda?

Jangan salah, dunia advertising yang disembah-sembah sebagai salah satu pilar yang membentuk peradaban manusia, ikut mempolitisasi tubuh manusia. Tubuh terjebak dalam pilar kebudayaan konsumerisasi. Betapa asyiknya kita membentuk persepsi akan tubuh dengan pencitraan visual dan representasi tubuh yang “ideal”.

Saya kadang suka bingung sendiri. Tinta-tinta yang tertoreh di atas kulit dan tubuh bercampur dengan darah, ternyata juga dianggap sebagai bagian dari representasi fenomena sosial. Atau teman-teman saya dengan logam berat mengoyak semua bagian tubuh. Atau sedikit modifikasi di sana-sini atas bentuk tubuh. Dulu, ini semua dibubuhi stempel besar bertuliskan patologi sosial.

Bukan hanya menjadi representasi patologi sosial, kadang tubuh juga menjadi representasi patologi seksual. Ngga perlu disebut secara eksplisit, betapa banyaknya penyimpangan dan penyalahgunaan tubuh yang malang melintang di luar lingkaran norma seksual, keluar dari rujukan kotaknya norma sosial.

Patologi seksual? Mungkin juga. Anehnya lagi, pada saat yang sama tubuh menyumbangkan kontribusi terbesar dalam industri seksual. Industri seksual yang kita nikmati bersama juga.

Saat ini, ratusan ribu tubuh-tubuh manusia terkapar mati, terapung dan hilang. Mulai dari ujung pulau Sumatera sampai daratan Afrika. Representasi apa lagi? Ada yang bilang, ini pertanda akan menimbunnya dosa manusia. Ada yang bilang, ini peringatan bagi manusia yang telah lupa akan Tuhannya. Teganya. Seakan yang tubuh-tubuh yang hilang adalah tubuh-tubuh penuh dosa. Bagaimana dengan jutaan tubuh berlumur nista yang masih hidup bebas menghirup udara, menikmati dunia?

Malang banget nasib tubuh manusia.
Tereksplorasi. Tereksploitasi. Pelaku. Tersangka. Tertuduh. Terdakwa. Pemain utama. Figuran. Penonton. Terinjak. Terfitnah. Terkotak-kotak.

Silakan dinikmati dan diapresiasi dengan baik tubuh kita…
(sedikit eksplorasi boleh juga kok! :p)

*live before you die!*