Friday, June 03, 2005



Ketika Pesakitan Berteriak Sakit

INT. SEAN'S OFFICE -- DAY

Will and Sean sit in silence. A long moment passes. Sean
casually reclines in his chair, disinterested. Will restlessly
looks around the room and then back to Sean. An odd half smile
crosses Sean's face. After a moment:

SEAN (cont'd)
My wife's been dead two years, Will. And when I think about her, those are the things I think about most. Little idiosyncrasies that only I knew about. Those made her my wife. And she had the goods on me too. Little things I do out of habit.

People call these things imperfections Will. It's just who we are. And we get to choose who we're going to let into out weird little worlds. You're not perfect. And let me save you the suspense, this girl you met isn't either.

The question is, whether or not you're perfect for each other. You can know everything in the world, but the only way you're findin' that one out is by giving it a shot. You sure won't get the answer from an old fucker like me. And even if I did know, I wouldn't tell you.
------------------------------------------------

Di atas cuma sepotong adegan dalam film Good Will Hunting (1997). Cerita tentang Will Hunting (Matt Damon), seorang anak muda yang pintar tapi juga bermasalah dengan keadaan jiwa dan kehidupan pribadi. Beruntung dia bisa bertemu dengan seorang profesor psikologi, Sean (Robbin Williams), yang bisa membuka dirinya dan memberikan pencerahan tentang arti hidup dan cinta.

Tapi ngga semua bisa seberuntung Hunting. Tokoh Alvy Singer (Woody Allen) dalam film Annie Hall (1977), harus menghabiskan waktu belasan tahun berkunjung ke psikiater mengenai masalah pribadinya. Dalam film ini, ia berulang kali mengaku sakit dan memiliki masalah pribadi, meminta sekelilingnya untuk memaklumi.

Masalah pribadi dan masalah insecurities-nya sendiri yang harus mengorbankan dua pernikahan dan mempertaruhkan hubungannya dengan Annie Hall (Diane Keaton). Bahkan dia pula yang membuat Annie Hall berkunjung pula ke psikiater. Tapi sampai di akhir film kita juga ngga melihat titik cerah, selain perpisahannya dengan si true love, Annie Hall.

Ada seseorang yang pernah curhat ke saya tentang mantan pacarnya yang harus berkunjung ke psikiater. Masalah insecurities dan berbagai masalah lainnya, katanya. Ngga lama, dia sendiri yang merasa harus berkunjung pula ke psikiater. Masalah dengan komitmen, akunya.

Setelah mendengar keseluruhan cerita, ternyata ia sendiri sadar memiliki masalah dengan komitmen, mengaku salah, mengaku sakit, dimaafkan, dimaklumi. Namun yang lucu, jalan keluarnya tetap tidak berusaha memperbaiki semuanya. Tetap merindukan dan menikmati rasa sakit. Sampai ia sendiri merasa perlu berkunjung ke psikiater, untuk mencari jawaban atas permasalahan yang sebenar-benarnya.

Segitu sakitnya kah kita, hingga harus mendorong orang-orang tercinta jauh-jauh? Walaupun mereka telah berusaha memaklumi, menemani dan berharap kita untuk sembuh.

Ingat jaman kita masih kecil dulu, kita bisa berteriak sakit dan kita akan langsung mendapat perhatian ekstra serta bisa bermanja-manja ria. Orang tercinta sekeliling kita akan setia menemani hingga kita sembuh. Klaim bahwa kita sakit akan membuat orang lain memaklumi keadaan diri kita, sikap kita dan segala macam polah tingkah laku kita. Klaim bahwa kita sedang sakit dapat menjadi mantra yang sangat ampuh, kalo sakit mau diapain lagi?

Dimaklumi.
Dimaklumi.
Dan dimaklumi.

Ngga percaya?

Mantra ini boleh Anda coba sendiri. Ngga peduli banyaknya kerjaan di kantor, ngga peduli ketatnya deadline, tapi kalo Anda merasa ngga enak badan tinggal kasih pernyataan kalau Anda sakit, apalagi kalo bisa didukung dengan secarik surat yang mempertegas kalo kita sakit dari dokter. Walhasil, kantor dan atasan Anda akan memaklumi. Tapi perlu diingat, ada rekan-rekan kerja yang menderita dengan ulah Anda ini! (tolong dipikirkan sebelum dicoba, demi kemaslahatan bersama!) :-P

Sampai kapan kita akan berteriak sakit dan mengharapkan semua orang akan memaklumi keadaan kita? Apa hanya cukup dengan berteriak sakit, tanpa ada usaha untuk mencoba sembuh? Seperti maling yang hanya bisa meminta maaf dan memohon untuk dimaklumi atas kejahatannya, tapi juga tidak bisa berjanji untuk tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

Atau seperti pelacur yang minta dimaklumi bahwa dia terpaksa harus menjajakan tubuh dan kelamin dan berjanji untuk insaf. Tetapi juga dengan senang hati tetap akan membuka pakaian dan membuka lebar pahanya, ketika lembaran uang bicara.

Atau mungkin seperti seorang pecandu, yang minta dimaklumi keadaannya dan berjanji untuk sembuh. Mengaku sangat letih dengan keadaan dan gelapnya perjalanan hidup. Tetapi juga tetap merindukan penetrasi jarum suntik ke dalam nadi, memijat-mijat halus syaraf dan menstimuli otak dengan kenikmatan dan rasa tenang.

Sugesti, kalau kata dokter. Ketergantungan fisik terhadap obat-obatan gampang sembuhnya. Tapi yang susah menghilangkan pikiran yang seringkali terbersit untuk kembali mencicipi obat yang bisa memberikan kenikmatan dan ketenangan hati. Kekuatan sugesti pula yang bisa mengubah keadaan seseorang, masih kata dokter. Berpikir sembuh kalau mau cepat sembuh, berpikir sakit kalau mau tetap sakit. Aneh ya?

Sakit?
Minta dimaklumi?
Sampai kapan mau sembuh?

Atau mungkin kita semua seperti pecandu? Yang kadang merindukan rasa sakit dalam hati dan jiwa, yang kadang menikmati kesendirian dan kekosongan. Tapi mungkin kita punya cara sendiri-sendiri untuk mencari obat yang dapat mengobati rasa sakit. Ini cuma teori konyol sih, tanpa didukung dengan segala macam data dan informasi yang akurat. Tapi mungkin lho, ternyata kita semua pesakitan.

Tapi semua orang pasti juga capek jika harus sakit bertahun-tahun. Anak kecil juga tahu, walaupun dimanja tetap aja ngga enak kalau sakit terus-terusan. Siapa yang mau harus berkunjung rutin ke psikiater sampai belasan tahun, tanpa tahu akhirnya gimana. Tetap sakit atau sembuh?


*Sakit? What a lame excuse! Ngga bosen dari dulu sakit mulu?! Get well soon yah! :-P*

No comments: